Bandung selalu punya cara tersendiri untuk berinteraksi dengan jamannya. Generasi Gito Rollies dan Deddy Stanzah, misalnya, menunjukkan spirit pemberontakan mereka dengan menganut gaya hidup urakan-ugal-ugalan. Sambil, tentu saja, tidak lupa berlaku-pagu via musik. Dan rock ‘n roll dipilih menjadi rel untuk menghela gerbong gejolak jiwa mereka.
Generasi Gito Rollies dikenal sangat badung. Tapi faktanya prestasi mereka
dalam bermusik sangat istimewa. Itulah yang menyebabkan kebadungan mereka bisa
ditolerir sejarah. Bahkan sejarah malah berbalik menyanjung mereka sebagai
figur-figur prestisius.
Lebih-kurang dua dekade setelah era keemasan angkatan Gito Rollies dan Deddy
Stanzah berlalu, generasi muda Bandung
menganut cara lain dalam menunjukkan eksistensinya. Ketika ruang arusutama
didominasi kemestian bernama komodifikasi yang selalu berbaju proyeksi mengejar
keuntungan materi semata — sehingga tidak memberi spasi memadai buat spirit
lain di luar itu, mereka memilih jalan lain dalam mengekspresikan
letupan-letupan liar dalam benak mereka. Letupan-letupan itu awalnya
mengecambah secara sendiri-sendiri di titik-titik tertentu. Maka kemudian,
tumbuhlah beberapa kantung komunitas. Sekadar menyebut, ada komunitas TU yang
biasa nongkrong di Jalan Teuku Umar. Band-band semacam Balcony atau Take A Stand
mengerek komunitas ini. Komunitas ini kemudian melahirkan kompilasi historikal
bertajuk Brain Baverages.
Ada juga komunitas Balkot yang doyan
nangkring di Balai Kota Bandung. Di samping fokus pada musik, mereka
ini punya kecenderungan mengakrabi olahraga ekstrem skateboarding. Mungkin ini
ada kaitannya dengan saujana Balkot yang memang cukup asoy dijadikan tempat
bermain papan luncur. Bahkan di kemudian hari komunitas ini mengidentifikasikan
diri sebagai salah satu scene yang meletakkan fondasi subkultur skateboarding
di kota
kembang.
Sampai kemudian di era mutakhir awal 2000-an, masih di Balkot, muncul pula
komunitas lain bernama Kolektif Balkot Jam Lima Sore. Komunitas yang bersulih
nama menjadi Balkot Terror Project ini adalah sebuah gerakan kolektif yang
dibangun secara sel dengan semangat memelihara kemurnian ideologi bermusik. Di
mata mereka, betapa pun arus komodifikasi terhadap scene sudah sedemikian
dahsyat dan merongrong idealisme, gelombang komersialisasi tetap harus dilawan
dengan segenap upaya (catatan: untuk Kolektif Balkot Jam Lima Sore akan dibahas
dalam tulisan khusus).
Semangat D.I.Y (Do It Yourself) pun jadi pilihan. Mereka menggelar gigs atau
mengeluarkan rilisan — baik album maupun newsletter — secara permana dan murni
swadaya. Gigs digelar dengan cara kolektif, dalam arti setiap band yang main
harus urunan untuk sekadar menyewa alat musik dan tempat. Sebuah solusi yang
kemudian jadi pilihan ketika minta ijin untuk menggelar acara sepelik mencari
jarum di padang
ilalang. Sementara rilisan dikemas sesederhana mungkin, nu penting kumaha
carana lagu uing bisa didengekeun ku batur. Pola penggandaan CD dengan
menggunakan personal komputer pun kerap ditempuh dan lantas dijual dengan
harga: ceban!!!
Jangan lupakan pula sekelompok pengusung idealisme dan ideologi punk yang
sampai sekarang tetap panceg dina galur berinteraksi dengan sejawatnya di
sekitar kawasan perbelanjaan Bandung Indang Plaza (BIP). Jangan pernah
menganggap sepele kontribusi mereka dalam meletakkan fondasi Bandung
Underground. Salah satu gigs bersejarah bernama Gorong-Gorong Bandung
dicetuskan Dadan Ketu, salah seorang peretas komunitas tersebut.
Bukan hanya gigs Gorong-Gorong, Dadan Ketu bersama PI Crew — nama lain dari
komunitas BIP — menancapkan pula tonggak lain bernama Bandung’s Burning. Sebuah rilisan berisi
kompilasi sejumlah band punk yang mencatat sukses luar biasa. Band-band seperti
Jeruji, Runtah, The Bollocks, atau Keparat, harus diakui, terkerek namanya
berkat kompilasi yang dirilis menggunakan label Riotic Records itu.
Dan voila… komunitas paling fenomenal tentu saja Ujungberung Rebel.
Komunitas ini tumbuh sedemikian rupa jadi kisi-kisi penting harakah musik bawah
tanah kota
kembang. Tidak hanya komitmen tinggi panceg dina galur memainkan musik-musik
ultragaduh, di sana
juga ada geliat ekonomi kreatif-kerakyatan mulai dari jualan kaus, tukang
sablon, sampai mendirikan perusahan rekaman independen yang sangat marak. Harus
kita akui, komunitas inilah yang mencancapkan fondasi, pengaruh, dan kontribusi
paling besar terhadap Bandung Underground.
Tak bisa dipungkiri, kantung-kantung komunitas itulah yang menjadi
noktah-noktah penyangga dari sebuah fenomena bernama Bandung Underground.
Sebuah fenomena peradaban yang gaungnya kini tidak hanya terdengar di ranah
nasional, melainkan juga sudah merambah sampai ke mancanegara. Sayangnya,
subkultur ini harus menjalani masa-masa paling sulit sejak awal 2008. Tepatnya
selepas tragedi AACC yang ditandai meregangnya sebelas orang nyawa dalam acara
peluncuran album perdana Beside.
Satu hal penting yang mesti digarisbawahi, betapa pun identik dengan
band-band bising, keliru juga jika kita menganggap Bandung Underground melulu
dihuni dan dibesarkan oleh band-band punk, hardcore, metal, jeung sajabana.
Sejumlah godfather yang meletakkan fondasi Bandung Underground justru tidak
memainkan musik metal. Sebut saja Richard Mutter. Bersama Yukie, Bengbeng, dan
Trisno di Pas Band, Richard tidak memainkan metal sefrontal yang diperagakan
Sonictorment, Forgotten, atau Jasad. Demikian pula dengan Pure Saturday yang
sampai saat ini tetap dianggap sebagai salah satu peletak tiang pancang
eksistensi Bandung Underground. Ada
pula band indiepop klasik seperti Kubik atau Cherry Bombshell.
Meski demikian, kita tidak bisa menyalahkan persepsi khalayak jika Bandung
Underground diidentikan dengan band-band bising. Sebab, salah satu momen yang
membuat istilah Bandung Underground berkibar kencang seperti sekarang memang
berkat imbas kesuksesan sebuah gigs metal bernama Bandung Underground.
KELAHIRAN
Sebuah literatur menyebutkan, istilah underground sudah dipakai di Majalah Aktuil pada 70-an. Istilah itu muncul untuk mendeskripsikan sebuah gaya bermusik dengan memainkan lagu-lagu kencang yang substansinya amat sarat dengan perlawanan terhadap sistem nan mapan. Tentu saja saat itu istilah Bandung Underground belum muncul atau setenar sekarang. Meski demikian, kota kembang tetap mengirimkan wakilnya ke garda depan saat khalayak bicara musik underground. Ada grup bernama Super Kid dan Giant Step, dua band legendaris yang sangat diperhitungkan dalam sejarah rock tanah air. Mereka dianggap ‘gerilyawan’ pengacau patron industri musik tanah air yang saat itu didominasi lagu-lagu pembangkit buluh perindu.
Sebuah literatur menyebutkan, istilah underground sudah dipakai di Majalah Aktuil pada 70-an. Istilah itu muncul untuk mendeskripsikan sebuah gaya bermusik dengan memainkan lagu-lagu kencang yang substansinya amat sarat dengan perlawanan terhadap sistem nan mapan. Tentu saja saat itu istilah Bandung Underground belum muncul atau setenar sekarang. Meski demikian, kota kembang tetap mengirimkan wakilnya ke garda depan saat khalayak bicara musik underground. Ada grup bernama Super Kid dan Giant Step, dua band legendaris yang sangat diperhitungkan dalam sejarah rock tanah air. Mereka dianggap ‘gerilyawan’ pengacau patron industri musik tanah air yang saat itu didominasi lagu-lagu pembangkit buluh perindu.
Super Kid dan Giant Step tidak sendirian dalam meletakkan fondasi musik ala
bawah tanah. Ada AKA dan SAS dari Surabaya,
Terencem dari Solo, sampai grup rock paling legendaris di tanah air, God Bless,
yang mengibarkan bendera ibu kota.
Dan kita sama sekali tidak bisa memungkiri, merekalah yang meletakkan kisi-kisi
subkultur bermusik ala underground. Setidaknya mereka telah mengajak generasi
muda untuk memberontak terhadap nilai-nilai kolot yang mengungkung kreativitas.
Beruntunglah, apa yang mereka bangun tidak sampai kehilangan benang merah
terhadap generasi setelahnya. Khususnya di Bandung, apa yang sudah diretas The
Rollies, Super Kid, atau Giant Step, diteruskan oleh anak-anak muda generasi
90-an. Salah satu embrio terpenting scene Bandung Underground diyakini lahir
dari Studio Reverse, yang terletak di daerah Sukasenang. Adalah Richard Mutter
dan Helvi, dua figur penting di balik lahirnya Reverse. Studio ini dianggap
penting bukan hanya karena menyediakan tempat berlatih buat band-band bising.
Reverse memegang peran krusial dalam sejarah Bandung Underground saat
mendirikan distro yang menyediakan pernak-pernik musik dari mancanegara. Kaset,
CD, kaos, poster, dan lain-lain, tersedia di sana. Dengan cara itu, ibaratnya, Reverse
membukakan jalan bagi para scenester untuk bersinggungan dengan dunia luar.
Richard kemudian menindaklanjuti sumbangsih penting buat scene dengan
mendirikan Pas Band dan label rekaman independen dengan nama unik, 40.1.24. Pas
Band ditahbiskan sebagai grup munggaran di Indonesia yang merilis album secara
independen pada 1993. Album mereka bertajuk Four Through The S.A.P mencuri
perhatian setiap orang yang punya gendang telinga tebal dan tak heran bila 5000
keping kasetnya tandas diburu orang dalam waktu satu setengah kejap.
Empat tahun kemudian, masih dengan bendera 40.1.24, Richard juga merilis
sebuah mahakarya kompilasi yang diberi tajuk Masaindahbangetsekalipisan.
Kompilasi ini layak disebut mahakarya bukan hanya karena memuat band-band
anjisuranjis-edunsuredun macam Burgerkill dan Puppen, tapi juga menyodorkan
sebuah inisiasi kepada publik mundial bahwa aing ge bisa nyieun nu kieu!
Tanpa konsep distribusi yang muluk dan ribet, gaung Four Through The S.A.P
dan Masaindahbangetsekalipisan tembus ke mana-mana. Pada waktu bersamaan,
sebuah stasiun radio yang tak kalah anjisuranjis-edunsuredun bernama GMR
(singkatan dari Generasi Muda Radio), tengah mengibarkan bendera ke angkasa
dengan sekencang-kencangnya. Peran Radio GMR sangat krusial sebagai media
penyambung antara band dan anak muda bergendang telinga tebal. Inilah radio
yang secara konsisten menyediakan frekuensinya untuk disesakki musik-musik
bising melulu. Lagu-lagu dari kedua album tersebut nyaris saban hari
menderu-deru di frekuensi 104.4 FM.
Ketika spasi buat musik ultragaduh di tempat lain masih sangat dikebiri, GMR
dengan lantang memutar lagu-lagu dari band dengan nama-nama asing. Bukan hanya
rilisan dari band lokal, tapi juga grup dari luar negeri. Radio inilah yang
membuat barudak kota
kembang cepat akrab dengan grup seperti Carcass, Benediction, Gorfest, dan
sejibun band inspiratif lain. Sebuah kondisi yang tak terjadi di tempat lain.
GMR juga punya kepedulian maksimal jadi media publikasi verbal rilisan-rilisan
lokal. Bahkan rilisan amatir pun mereka mau memutarkannya (Catatan: tentang GMR
akan dibahas khusus pada bagian lain).
Di antara sejumlah faktor yang membuat Bandung Underground cepat besar, komunitas adalah faktor yang sangat penting — kalau tidak boleh menyebut paling penting. Merekalah yang menyemai embrio dan memeliharanya agar terus hidup di antara himpitan setumpuk persoalan.
Walaupun dianggap sebagai ikon komersial, pusat pertokoan Bandung Indah
Plaza (BIP) ternyata punya peran penting dalam sejarah Bandung Underground.
Tempat ini jadi kilometer nol kelahiran sebuah komunitas sangat klasik yang
menamakan diri Bandung Death Metal Area alias Badebah. Komunitas ini lahir di
tangan para penggila thrash, death metal, dan grindcore. Prokalamator komunitas
ini adalah Uwo, vokalis band Funeral asal Sukaasih, Ujungberung. Di samping
Funeral, para personel band Jasad dan Necromancy juga secara intens
menggerakkan scene ini.
Babedah tumbuh tanpa disekat perbedaan aliran musik, sebab kemudian barudak
dari bermacam latar belakang pun turut bergabung. Bendera Badebah makin
berkibar setelah dijadikan program siaran di Radio Salam Rama Dwihasta yang bermarkas
di Sukaasih, Ujungberung. Di tangan kuartet penyiar Agung-Dinan-Uwo-Iput,
program ini mengudara pada rentang 1992 hingga 1993 dan sertamerta jadi
primadona. Ukurannya sederhana: 200 sampai 300 pucuk kartu pos mampir ke markas
Radio Salah Rama Dwihasta saban pekan. Eusina macem-macem, mulai menta lagu
nepi ka nitip salam keur dulur nu lain.
Di tempat berbeda, barudak lain juga membangun komunitas masing-masing atau
bergabung dengan komunitas yang sudah terbentuk. Para
scenester tidak hanya menjadikan komunitas-komunitas ini sebagai tempat
nongkrong. Mereka juga menjadikan komunitas sebagai sarana untuk membangun
jejaring dan mengembangkan ide.
Barudak Ujungberung lagi-lagi berada di garda depan. Di sebuah studio musik
bernama Palapa, insting bergaul hanya untuk jadi ajang nongkrong pengisi waktu
senggang, pelahan-lahan dikoreksi sehingga membuahkan hasil yang lebih
produktif. Setelah ritual nongkrong sudah dianggap mentok dan tidak
menghasilkan apa-apa, mereka kemudian membentuk Extreme Noise Grinding (ENG).
ENG sukses membuka jaringan ke mana-mana, sampai ke luar kota bahkan mancanegara.
ENG membuat konsep berkomunitas jadi lebih terarah. Salah satu sumbangsih
terbesar ENG adalah gigs metal yang sangat fenomenal bernama Bandung Berisik.
Zine Revograms yang dirilis kali pertama pada Maret 1995 bisa menghajar mata
scenester juga berkat ENG. Revograms sangat inspirasional karena jadi zine
underground munggaran di tanah air.
Kelebihan ENG ada pada kemampuannya memberdayakan lingkungan. Mereka tidak
hanya menempa anggota komunitas dalam hal bagaimana bermusik yang baik.
Alhasil, ENG sanggup ngigelan jaman. Scene ini kemudian bersulih rupa jadi
Homeless Crew yang sangat identik dengan Ujungberung. Nama Homeless Crew
dicetuskan Ivan Scumbag sebagai manifestasi penolakan terhadap (lagi-lagi)
kemapanan.
Tahun 1997, sejumlah band yang aktif di Homeless Crew sepakat merilis
kompilasi Ujungberung Rebels yang ultrahistorikal di bawah bendera Independen
Records. Kompilasi ini tak memuat hal lain kecuali musik ultragaduh dari
band-band edan yang di kemudian hari semuanya jadi metalhead. Sedemikian
historikalnya Ujungberung Rebels, sehingga tak ada satu pun band yang ikut
dalam kompilasi ini yang tidak menjadi legenda. Tak heran bila publik
menjadikan kompilasi ini sebagai salah satu relief sejarah terpenting Bandung
Underground.
Saking besarnya efek kompilasi Ujungberung Rebels, barudak Homeless Crew pun
kadang disebut Ujungberung Rebels. Sampai sekarang, komunitas ini tanpa henti
melahirkan band dan musik yang mematikkan.
Bandung Underground mencapai puncak kejayaan ketika GOR Saparua secara berkala menggelar gigs. Inilah tempat yang menjadi titik api Bandung Underground. Semangat bermusik yang diusung masing-masing komunitas mengalir dan bermuara ke GOR Saparua. Di sinilah nama-nama angker seperti Puppen, Jasad, Forgotten, Burgerkill, Jeruji, Blind to See, Balcony, Turtle Jr., Koil, dan sederet nama lain, dibaptis jadi wakil generasi terbaik Bandung Underground.
Nonton gigs di GOR Saparua lantas menjadi ritus wajib bagi para scenester.
Saban akhir pekan GOR tersebut ibarat muara tempat bertemunya berbagai
kepentingan, mulai dari vokalis band yang hendak merentang otot leher, pagawai
drum yang gatal ingin menghajar snar sekencang-kencangnya, sampai hasrat
penonton yang ingin memeras keringat di dalam GOR Saparua yang ventilasinya teu
bisa disebut alus. Dan jangan lupakan satu hal, di sana ada pula geliat ekonomi. Sebab, faktanya
sejumlah gigs di GOR Saparua berhasil mengeruk keuntungan materi yang lumayan.
Belum lagi kiprah para penjaja makanan dan minuman ringan serta calo tiket.
Yeahhh… Saparua kadung identik dengan Bandung
Underground, padahal gigs serupa sebenarnya kerap pula dihelat di tempat lain.
Semuanya berawal dari Hullaballo I yang digelar pada 1994. Inilah tombol
pelatuk yang memicu pentas-pentas musik underground. Bandung Underground,
Gorong-Gorong, Campur Aduk, Bandung Berisik, Boomer Underground, atau Master of
Underground, tak akan mudah dilupakan siapa pun yang pernah menyaksikannya.
Bayangkan, GOR Saparua yang kapasitasnya tidak seberapa, penuh sesak sampai teu
bisa usik saat pentas-pentas tersebut digelar.
Namun saat GOR Saparua semarak dengan gigs edan, di sisi lain terjadi sebuah
ironi. Hegemoni band-band seperti Burgerkill atau Puppen (sekadar menyebut
nama) atas panggung GOR Saparua, membuat banyak grup kecil tak memperoleh
kesempatan memadai untuk mengecap sangarnya beraksi di sana.
Sebagai bentuk perlawanan, kemudian lahirlah pola gigs kolektif di awal
2000-an. Band yang tak kunjung mendapat kesempatan tampil di GOR Saparua,
berinisiatif menggelar gigs mandiri. Caranya, setiap band yang mau tampil
urunan sejumlah uang. Uang yang terkumpul lalu dijadikan modal untuk menyewa
alat dan tempat. Di sana
mereka main sepuasnya dan memekikkan kalimat: gigs aing kumaha aing!
Karena kadung mengusung semangat D.I.Y, tiket dijual dengan banderol
pikaseurieun. Ada
gigs yang menjuat tiket dengan harga dua rebu perak. Dan biasanya tiket dijual
tidak terlalu lama. Setelah itu, penonton bisa ngabres bebas asup.
Masa keemasan GOR Saparua langsung menguap saat pemerintah kota
tidak lagi memberi ijin menggelar pertunjukkan di sana. Praktis, barudak Bandung pun kesulitan mencari tempat untuk
menggelar pentas. Pola gigs kolektif pun kian mendapat angin. Jika sebelumnya
menyewa tempat-tempat murah seperti gudang tak terpakai atau garasi mobil rumah
seorang kawan, polanya kemudian beralih dengan cara menyewa studio musik.
Uangnya lagi-lagi hasil urunan band yang tampil. Gigs semacam ini biasa disebut
studio show. Studio Jawara di bilangan Jalan Lengkong Besar hampir tiap pekan
merelakan ruangan sempitnya dipakai pogo dan anjrut-ajrutan. Juga Studio Grama
di Jalan Cihampelas dan Studio Elang di dekat kawasan Bandara Husen Sastranegara.
Pola gigs kolektif atau studio show semakin jadi pilihan paling realitis
setelah meletus Tragedi AACC pada 9 Februari 2008. Sebelas anak muda tewas
dalam acara peluncuran album Beside. Inilah titik nadir sejarah gigs Bandung
Underground. Untuk beberapa waktu acara musik bising di kota kembang seperti mati suri.
Meski demikian, semangat untuk menggelar acara tak pernah padam hanya
gara-gara pemerintah memberlakukan ketentuan ekstra ketat dalam mengeluarkan
ijin pagelaran. Setahun berselang, pelahan-lahan sejumlah komunitas mulai bisa
menggagas dan menggelar kembali gigs skala besar. Salah satu yang tetap
langgeng adalah Death Fest, kendati dalam dua kali pagelaran harus dilaksanakan
di kompleks tentara. Bahkan memasuki tahun 2011, gigs metal pelahan-lahan
kembali semarak, termasuk bangkitnya Bandung Berisik yang sudah tertidur selama
lima tahun.
Ketika hasrat menggelar gigs terbentur bermacam hal, semangat merilis karya musik tetap tumbuh subur. Meski di lain pihak, seperti dikatakan empunya Riotic Record Dadan Ketu, “Ngarilis album band underground mah tong ngarep untung! Ieu mah urusan hate!”.
Dalam hal ini, sekali lagi, kita harus berterima kasih kepada Richard Mutter
dengan label 40.1.24-nya yang telah merilis kompilasi Masaindahbangetsekalipisan
pada 1993. Inilah rilisan yang menginspirasi siapa pun tanpa kecuali.
Tapi, jangan pernah lupakan kompilasi Injak Balik yang dirilis pada 1997
dalam bentuk piringan piringan hitam oleh label asal Perancis, Tian An Men 89
Records. Popularitasnya memang tidak semenjulang Masaindahbangetsekalipisan
atau Ujungberung Rebel, namun rilisan yang hanya dicetak 500 kopi ini layak
digolongkan sebagai tonggak sejarah. Injak Balik memuat lagu dari Puppen,
Runtah, Jeruji, Piece of Cake, Deadly Ground, Savor of Filth, Turtles Jr., dan
All Stupid. Dan yang terpenting, Injak Balik asilnya bisa didengarkan dengan
gramafon karena berformat vinyl. Sebuah sensasi luar biasa buat siap pun yang
memilikinya!
Tahun 1997, Riotic Records mengeluarkan Bandung’s Burning-Bandung Punk Rock
Storm Volume 1 yang menghajar gendang telinga dengan suguhan rawk dari sederet
band ikon punk seperti Keparat, Jeruji, Runtah, Rotten to the Core, Turtle Jr.,
Total Riot, dan The Bollocks. Tiga belas tahun berselang, Bandung’s Burning Volume 2 dirilis. Kali ini
dengan semangat perlawanan lebih gigih.
Sebuah kompilasi yang sangat eksklusif karena hanya digandakan seratus
keping turut mewarnai generasi pertama Bandung Underground. Album tersebut
diberi tajuk Bandung Holocaust, kompilasi sederet band crustcore, dirilis
Holocaust Records pada 1997.
Dari kubu indiepop, Fast Forward (FFWD) Records, yang kebetulan milik Helvi,
tak mau kalah langkah. Bahkan label ini sudah merintis rilisan band dari luar
negeri sejak 1999. The Chinkees dari Amerika, Cerry Orchard (Perancis), dan 800
Cheries, adalah gelombang pertama band dari mancanegara yang albumnya
didistribusikan FFWD di pasar lokal. FFWD secara konsisten mempertahankan
gayanya sampai sekarang.
Oh ya… bicara soal rilisan, jangan kesampingkan Extreme Soul Productions
(ESP). Menggunakan nama ESP Records, label milik Iwan D ini sudah mulai
merintis album-album dari band beraliran deathmetal dan sebangsanya sejak 1996.
Baik band luar negeri, terlebih lagi grup domestik. Salah satu produk
prestisius dari ESP adalah kompilasi band-band ultragaduh bertajuk Brutally
Sickness. Sempat tertidur beberapa waktu, Iwan kembali membesut ESP sejak 2009.
Di samping kompilasi, sejak Puppen melepas This Is Not a Puppen EP dan Pas
Band merilis Four Through The S.A.P, rilisan album dari band-band lain tak
pernah berhenti mengalir. Sampai detik ini. Demikian pula dengan label rekaman,
tak kalah semarak dengan kemunculan grup-grup musik anyar. Yang paling mutakhir
adalah Rottrevore Records yang gigih menjembatani kinarya grup-grup metal untuk
kemudian menjadikannya sebuah produk yang bisa menyelusup ke balik gendang
telinga.
Jika Reverse dan label 40.1.24 jadi pionir dalam urusan rekaman, maka fondasi penting dalam hal literasi adalah Revograms. Adalah Dinan — vokalis Sonic Torment — yang membidani kelahiran zine ini tahun 1995. Inilah batu pertama budaya literasi Bandung Underground yang menginspirasi terbitnya puluhan, bahkan ratusan, newsletter di kemudian hari.
Jika sekarang orang lebih banyak membicarakan Trolley atau Ripple sebagai
bagian penting budaya literasi Bandung Underground, itu karena dua zine ini
lahir dalam kemasan aduhai. Berbeda dengan kebanyak zine yang hanya foto
kopian. Padahal di luar Trolley atau Ripple, terlalu banyak zine bagus yang
sangat berpengaruh. Sebut saja Tigabelas, Membakar Batas, atau Beyond Barbed
Wire yang sangat provokatif itu.
Belakangan budaya tulis mulai menapaki undakan lebih baik dengan berdirinya
toko-toko buku keren seperti Tobucil, Ultimus, Rumah Buku, dan Omuniuum. Bahkan
kemudian muncul pula Minor Books, sebuah penerbitan yang digagas orang-orang
gila dengan komitmen gila pula. Satu masterpiece Minor Books adalah buku
biografi Ivan Scumbag berjudul Myself: Scumbag Beyond Life and Death karya
Kimung yang terbit pada 2007.
Semangat mengekspresikan ghirah bermusik ke dalam bentuk literatur
berbanding lurus dengan geliat ekonomi di bidang merchandise band, dalam hal
ini kaos. Industri clothing yang tumbuh secara masif membuat band mudah meliris
merchandise. Dibanding album musik atau zine, harus diakui, merilis merchandise
adalah cara paling pragmatis untuk menyambung napas band itu sendiri.
Pada akhirnya, Bandung Underground memang bukan sekadar musik ultragaduh,
rilisan album, zine, atau lain-lain. Lebih dari itu, Bandung Underground adalah
lapangan tempat menyiasati hidup yang kadung disumpeki setumpuk sistem yang
kadang tidak cocok dengan keinginan ideal kita. Tapi bukankah itu sebuah
kesadaran yang tak boleh padam, agar Bandung Underground terus langgeng ti baheula
nepi ka ayeuna jeung salawasna!
0 komentar:
Post a Comment